BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Karya sastra dikelompokkan menjadi
3 jenis, prosa, puisi, dan drama. Untuk dapat memahami sebuah karya sastra
dengan baik, pembaca harus memiliki pengetahuan tentang fungsi dan unsur-unsur
karya sastra yang dibacanya.
Prosa
fiksi sebagai sebuah cerita rekaan yang biasa juga disebut sebagai cerita
rekaan memiliki fungsi untuk memberitahukan kepada pembaca tentang suatu
kejadian atau peristiwa yang mungkin ada dalam kehidupan nyata. Unsur-unsur
prosa fiksi seperti yang sudah Anda pelajari dalam mata kuliah sastra mencakup
tema, tokoh, alur, seting atau latar, gaya, dan sudut pandang.
Dalam karya prosa fiksi terkandung
sebuah amanat yang dibungkus oleh unsur-unsur cerita tersebut.
Kejadian-kejadian dan amanat inilah yang akan Anda peroleh dari cerita yang
Anda baca sebagai suatu pengalaman
Karya sastra merupakan struktur
yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan
penganalisisan. Penganalisisan tersebut merupakan usaha secara sadar untuk
menangkap dan memberi muatan makna kepada teks sastra yang memuat berbagai
sistem tanda. Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan
sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain
yang disebut makna (Nurgiyantoro, 2002: 39).
Bahasa tak lain adalah media dalam
karya sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan yang
bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra yang berbentuk
prosa, maka untuk pemahaman makna pada prosa bisa menggunakan kajian
sintaksis. Oleh karna itu, penulis ingin mengkaji novel karya dari sudut
pandang Sintaksis.
B.
Rumusan
masalah
1. Kemukakan
apa itu cerpen !
2. Uraikan
jenis-jenis cerpen !
3. Uraikan
apresiasi cerpen !
4. Uraikan
analisis semiotik !
5. Apa
yang di maksud pendekatan parafratis, emotif, dan analitis ?
c.
Tujuan
Penulisan
1 .
Mampu
memahami apa itu cerpen.
2 .
Mampu
mengetahui jenis-jenis cerpen.
3 .
Mampu
mengetahui apresiasi cerpen.
4 .
Mampu
mengetahui analisis semiotik.
5 .
Mampu
mengetahui pendekatan parafratis, emotif, dan analitis
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Cerpen
Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk
prosa. Dalam cerpen dipisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh
pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan
yang tidak mudah dilupakan (Kosasih dkk, 2004:431).
Nugroho
Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176) mengatakan bahwa cerpen adalah cerita
yang panjangnya di sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi
yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Untuk menentukan panjang cerpen
memang sulit untuk ukuran yang umum, cerpen selesai dibaca dalam waktu 10
sampai 20 menit. Jika cerpennya lebih panjang mungkin sampai 1½ atau 2 jam.
Yang jelas tidak ada cerpen yang panjang 100 halaman (Surana, 1987:58).Pengertian Cerpen
Cerita pendek adalah karangan pendek yang berbentuk
prosa.Dalam cerita pendek dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh
pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan dan mngandung kesan
yang tidak mudah dilupakan.
B. Jenis-jenis cerpen
Kalau manusia ada yang namanya jenis
kelamin untuk membedakan laki-laki dan perempuan , cerpen juga ada
jenis-jenisnya tapi bukan jenis kelamin seperti manusia, ini dia jenis-jenis
cerpen berdasarkan jumlah katanya :
1. Cerpen mini (flash), cerpen
dengan jumlah kata antara 750-1.000 buah.
2. Cerpen yang ideal, cerpen dengan
jumlah kata antara 3.000-4000 buah.
3. Cerpen panjang, cerpen yang
jumlah katanya mencapai angka 10.000 buah.
Sekarang berdasarkan teknik mengarangnya,
cerpen dibedakan menjadi
1. Cerpen sempurna (well made
short-story), cerpen yang terfokus pada satu tema dengan plot yang sangat
jelas, dan ending yang mudah dipahami. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat
konvensional dan berdasar pada realitas (fakta). Cerpen jenis ini biasanya enak
dibaca dan mudah dipahami isinya. Pembaca awam bisa membacanya dalam tempo
kurang dari satu jam
2. Cerpen tak utuh (slice of life
short-story), cerpen yang tidak terfokus pada satu tema (temanya
terpencar-pencar), plot (alurnya) tidak terstruktur, dan kadang-kadang dibuat
mengambang oleh cerpenisnya. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat
kontemporer, dan ditulis berdasarkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang
orisinal, sehingga lazim disebut sebagai cerpen ide (cerpen gagasan). Cerpen
jenis ini sulit sekali dipahami oleh para pembaca awam sastra, harus dibaca
berulang kali baru dapat dipahami sebagaimana mestinya. Para pembaca awam
sastra menyebutnya cerpen kental atau cerpen berat.
C.
APRESIASI
CERPEN
Pengertian apresiasi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah penilaian baik; penghargaan; misalnya-terhadap
karya-karya sastra ataupun karya seni.
Apresiasi berasal dari bahasa
Inggris, appreciation yang berarti penghargaan yang positif. Sedangkan
pengertian apresiasi adalah kegiatan mengenali, menilai, dan menghargai bobot
seni atau nilai seni. Biasanya apresiasi berupa hal yang positif tetapi juga
bisa yang negatif. Sasaran utama dalam kegiatan apresiasi adalah nilai suatu
karya seni. Secara umum kritik berarti mengamati, membandingkan, dan
mempertimbangkan. Tetapi dalam memberikan apresiasi, tidak boleh mendasarkan
pada suatu ikatan teman atau pemaksaan. Pemberian apresiasi harus dengan
setulus hati dan menurut penilaian aspek umum.
D. Analisa Semiotik
Pengertian
semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas
objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut
Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya
cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Seluruh aktifitas manusia dalam
keseharian selalu diliputi berbagai kejadian-kejadian yang secara langsung atau
tidak langsung, disadari atau tak-sadar, memiliki potensi makna yang terkadang
luas nilainya jika dipandang dari sudut-sudut yang dapat mengembangkan suatu
objek pada kaitan-kaitan yang mengindikasikan suatu pesan atau tanda tertentu.
Jika diartikan melalui suatu penjelasan maka akan dapat diterima oleh orang
lain yang menyepakati.
Semiotika, yang biasanya
didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada
dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang
memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau
sebagai sesuatu yang bermakna ( Scholes, 1982: ix dalam Kris Budiman, 2011: 3)
Lebih spesifik lagi jika sebuah
studi atas kode-kode tertentu memiliki kaitan dengan kehidupan kita, bahkan
sangat fundamental jika ada kesalahan artikulasi atas kode-kode tersebut.
Pemicu awal terciptanya suatu hukum bisa berawal dari kode-kode sebuah tanda
yang telah disepakati dan menjadi kebudayaan menyeluruh. Kita dapat melihat
tentang bagaimana tanda-tanda tertentu berbeda makna dari orang-orang yang
terbagi dalam berbagai aspek seperti, geografis, demografis, suku dan budaya.
Sehingga bagi Ferdinand de Saussure (Kris Budiman, 2011: 3) menuturkan bahwa
semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat”. Tanda-tanda dalam masyarakat yang
telah disepakati sebenarnya hasil dari pemikiran Logika seperti yang di
ungkapkan oleh Charles S. Pierce (Kris Budiman 2011: 3) bahwa semiotika tidak
lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang
tanda-tanda”.
Penggunaan kata doktrin disini
adalah wujud dari kesepakatan generasi ke generasi contohnya tentang tanda
alam, “jika mendung maka itu tanda akan segera turun hujan”. Walaupun terkadang
hujan tanpa mendung-pun sering terjadi, dan mendung tanpa hujan pun ada. Namun,
ada makna yang terkandung di dalam tentang artikulasi bagi sebagian orang atau
kelompok tentang tanda “mendung”. Dalam ilmu fisika kita mengetahui sebab apa
sehingga turun hujan akan mengartikan sebagai proses menguapnya kandungan air
yang ditampung sehingga langit mendung dan menurunkan hujan. Akan tetapi, bagi
kelompok lain tanpa melakukan sebuah analisis akademis seperti itu pun
mengisyaratkan bahwa langit mendung pertanda akan turun hujan. Tanda langit
mendung menjadi acuan yang disepakati baik secara doktrinisasi ataupun secara
historis masyarakat yang mengalami itu berkali-kali dan dapat mengartikan
“hujan akan segera turun”. (bahasa alam)
Sedangkan menurut John A. Walker
semiotika adalah “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Definisi tersebut menjelaskan relasi yang tidak dapat
dipisahkan antara sistem tanda dan penerapannya di dalam masyarakat. Oleh
karena tanda itu selalu ditempa di dalam kehidupan sosial dan budaya, maka
jelas keberadaan semiotika sangat sentral di dalam cultural studies. Tanda
tidak berada di ruang kosong, tetapi hanya bisa eksis bila ada komunitas bahasa
yang menggunakannya. Budaya, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai bangunan yang
dibangun oleh kombinasi tanda-tanda, berdasarkan aturan tertentu (code), untuk
menghasilkan makna.
Tanda di dalam fenomena kebudayaan
mempunyai cakupan yang sangat luas, di mana selama unsur-unsur kebudayaan
mengandung di dalam dirinya makna tertentu, maka ia adalah sebuah tanda, dan
dapat menjadi objek kajian semiotik. Apakah itu pola tingkah laku seseorang,
pola pergaulan, penggunaan tubuh, pengorganisasian ruang, pengaturan makanan,
cara berpakaian, pola berbelanja, hasil ekspresi seni, cara berkendaraan, bentuk
permainan dan objek-objek produksi, semuanya dianggap sebagai tanda dan produk
bahasa ( John A. Walker 2010: xxii ).
Menurut saya, lebih plural tentang
arti tanda dari John A. Walker, karena mengisyaratkan tentang respon dari indra
seseorang yang ditimpa stimulus apapun bisa berarti sebuah tanda. Bahkan hal
terkecilpun memiliki potensi besar berupa makna. Namun, keragaman makna di sini
berlaku ketika adanya sebuah komunitas bahasa yang menyetujui tentang berbagai
tanda yang disepakati dan mempunyai legitimasi aturan-aturan tentang pemaknaan
tersebut. Begitu juga sebaliknya ada kekuatan personal orang yang mampu
memaknai berbagai tanda, akan tetapi orang lain tidak mampu bahkan tidak
menyetujui akan makna dari perseorangan tersebut, itu tidak berlaku dalam
sebuah analisa dan tidak bisa diwujudkan dalam kehidupan luas.
Maka dari itu sebuah tanda tertentu
yang dapat memberikan makna harus diteliti dan dibuktikan dalam sebuah praktek
meskipun artikulasi itu tidak nampak atau tidak riil wujudnya. Dari interpreter
ke interpreter selanjutnya harus jelas dalam memaknai, sehingga dengan
sendirinya makna-makna yang akan membudaya secara automatic menyatu dalam
sebuah wadah budaya dan disepakati. Contohnya adalah kultur barat yang dahulu
merayap menggunduli budaya luhur dan saat ini menggunduli dirinya sendiri dan
idealisme budaya Indonesia digantikan dengan budaya Kapitalisme. Tanpa terasa
luka itu bertambah parah menggerogoti kesejahteraan rakyat hidup dengan layak.
Ini semua berawal dari tanda yang dimaknai dan diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya menjadi budaya baru yang memiliki arti
tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang disebut modern. Cara-cara berpakaian,
konsumerisme, cara berpikir liberal tak bermoral, dan lain sebagainya bisa
dinamakan tanda-tanda budaya barat yang dimaknai modern oleh masyarakat
Indonesia.
Karena pengertian semiotika adalah
sistem tanda yang berelasi dalam pemaknaan,
maka yang pertama akan kami bahas adalah karakteristik tanda ( Arbitrer ).
1. Karakteristik Tanda ( Arbitrer )
Bahasa, dalam
perspektif semiotika ( 2011: 66 ), hanyalah salah satu
sistem tanda-tanda (system of signs). Dalam wujudnya sebagai suatu sistem,
pertama-tama, bahasa adalah sebuah institusi sosial otonom, yang keberadaannya
terlepas dari individu-individu pemakainya. Bahasa merupakan seperangkat
konvensi sistematis, produk dari kontrak kolektif, yang bersifat memaksa.
Saussere ( dalam Kris Budiman 2011: 66 ) menyebutnya sebagai lengue. Kedua,
bahasa tersusun dari tanda-tanda, yakni entitas fisik, yang di dalam bahasa
lisan berupa citra-bunyi (sound image), yang berelasi dengan konsep tertentu.
Selanjutnya, Saussere menamakan entitas material-sensoris ini sebagai penanda
(signifier atau signifiant) dan konsep yang berkait dengannya sebagai petanda
(signified atau signifie). Masih menurut Saussure, tanda-tanda, khususnya
tanda-tanda kebahasaan, setidak-tidaknya memiliki dua buah karakteristik
primordial, yakni bersifat linear dan arbitrer.
Karakteristik
pertama, linearitas penanda (linear nature of the signifier ), berkaitan dengan
dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi secara
beruntun, satu demi satu, tidak mungkin secara sekaligus atau simultan. Artinya, penanda tersebut bersifat linier karena
“pendengaran penanda memiliki perintah mereka hanya dimensi waktu.” Ini
“merupakan sejengkal, dan rentang yang dapat diukur dalam dimensi tunggal” -
yaitu waktu. Saussure says that linguistic signs are by nature linear,
because they represent a span in a single dimension. Auditory signifiers are
linear, because they succeed each other or form a chain. Visual signifiers, in
contrast, may be grouped simultaneously in several dimensions (tanda-tanda
linguistik secara alami linear, karena mereka mewakili rentang dalam dimensi tunggal. Penanda
pendengaran adalah linear, karena mereka berhasil satu sama lain atau membentuk
rantai. Penanda visual, sebaliknya, dapat dikelompokkan secara bersamaan
dalam beberapa dimensi).
Karakteristik
kedua, kearbitreran tanda (the arbitrary nature of the signs), bersangkutan
dengan relasi di antara penanda dan petanda yang “semena-mena” atau “tanpa
alasan”—tak bermotivasi (unmotivated). Relasi di antara penanda dan petanda
adalah semata-mata berdasarkan konvensi (Kris Budiman 2011, 66). Selanjutnya Seassure di kesempatan yang lain mengatakan
bahwa bahasa lisan mencakup komunikasi konsep melalui suara-gambar dari
pembicara ke pendengar. Bahasa adalah produk komunikasi pembicara dari
tanda-tanda untuk pendengar. Tanda linguistik adalah kombinasi dari konsep dan
suara-gambar. Konsepnya adalah apa yang ditandakan, dan suara-gambar penanda.
Kombinasi signifier dan signified adalah sewenang-wenang, yaitu, suara apapun
citra dibayangkan dapat digunakan untuk menandakan sebuah konsep tertentu.
Namun, terkadang ada perubahan-perubahan dalam hubungan signifier dan signified
dan perubahan tanda-tanda linguistik berasal dari perubahan kegiatan sosial.
Tanda-tanda
arbitrer disebut secara khusus oleh Pierce, sebagai simbol (symbol) (Kris
Budiman 2011: 66). Oleh karena itu, dalam terminologi Pierce, bahasa dapat
dikatakan juga sebagai sistem simbol lantaran tanda-tanda yang membentuknya
bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya, Hewan yang menggonggong dikatakan
anjing oleh orang Indonesia dan dog oleh Inggris. Masing-masing bangsa itu
sungguh “semena-mena” dalam menamakan hewan yang menggonggong tadi.
Di dalam
tatanan budaya itu ‘bermacam area kehidupan sosial terlihat dipetakan ke dalam
wilayah diskursif, wilayah itu secara hierarkis terorganisasi menjadi pemaknaan-pemaknaan
yang dominan atau yang disukai’. Karena tatanan budaya itu tidak tunggal dan
bukannya tidak dipersoalkan, maka pemaknaan yang disukai menjadi bisa dijamin.
Tapi karena tatanan itu dominan, maka tatanan itu pastilah mendukung suatu
keseimbangan probabilitas, sebab tatanan itu menguntungkan bagi beberapa
pembacaan-pembacaan yang bersifat pribadi varian.
Seperti contoh di atas jika kata anjing
disepakati oleh masyarakat internasional untuk menamakan hewan menggonggong,
maka akan kesulitan bagi mereka yang sulit mengucapkan kata anjing. Jadi ada
kesewenang-wenangan dalam memaknai dan menamai tanda gonggong itu dimiliki oleh
anjing bagi orang Indonesia, begitu juga di seluruh dunia yang tidak sama
menamai hewan menggonggong. Tetapi “perspektif selektif” hampir tidak pernah
secara seselektif, seacak, dan sepribadi apa yang dikatakan oleh konsepnya.
Namun,
dalam masalah peristilahan ini pula kemudian timbul kesengkarutan karena
Saussure dan Pierce ternyata menggunakan satu istilah yang sama untuk menunjuk
kepada konsep yang sama sekali bertolak-belakang. Menurut terminologi Pierce,
simbol adalah tanda arbitrer, sementara Saussure sebaliknya, dan mengatakan
bahwa simbol adalah tanda-tanda yang tidak sepenuhnya arbitrer. Kerancuan ini
dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang belajar semiotika agar senantiasa
waspada dan tidak sembrono dengan terminologi dan konsep-konsep karena nyaris
setiap pemikir dan “selebriti” semiotika menggunakan istilah yang sama atau
hampir sama, namun pengertiannya bisa berbeda sama sekali. Akan tetapi terlepas
dari kerancuan konseptual tersebut, boleh dikatakan bahwa hampir sepanjang
riwayatnya linguistik dan semiotika terlampau menekankan pada konvensionalitas
atau kearbitreran tanda sehingga kerap mengabaikan karakteristik tanda yang
sebaliknya—seolah-olah bahasa tidak mungkin berkarakteristik ikonitas menurut
Saussure yang menurut Pierce menaruh perhatiannya terhadap masalah ikonitas.
Begitu
peliknya masalah yang dihadapi dalam artikulasi serat memaknai tanda-tanda
menurut Saussure dan Pierce. Meskipun keduanya hidup bersamaan di zamannya,
namun mereka tidak pernah saling kenal dan bertemu. Akan tetapi para
murid-muridnya mencoba merangkum apa yang dimaksudkan oleh Saussure dengan
linguistik dan Pierce mengatakan dengan nama lain dari semiotika adalah Logika
atau permainan logika. Perkembangan yang semakin menunjukkan eksitensi tentang
semiotika berkaitan dengan pemaknaan tanda. Kami akan mencoba menjelaskan apa
yang dimaksud dengan ikon dan ikonitas yang merupakan tanda-tanda non-atbitrer
menurut Pierce.
2. Ikon dan Ikonisitas
Bagi Pierce,
ikon termasuk dalam tipologi tanda pada trikotomi kedua. Ikon merupakan sebutan
bagi tanda yang non-arbitrer (bermotivasi). Menurut Pierce, Ikon adalah
hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur,
2004:41). Dia menyatakan bahwa ikon adalah tanda yang memiliki
kemiripan/similaritas dengan objeknya (Budiman, 2005:45). Ikon, jika ia berupa
hubungan kemiripan (Nurgiyantoro, 1995:45).
Ikon
merupakan tanda yang didasarkan oleh adanya similaritas (similarity)
atau “keserupaan” (resemblance) di antara kedua kolerat tersebut
(Budiman 2011: 69). Jenis tanda yang didasari resemblance itu
adalah tanda ikonis dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas.
Ikonisitas
merupakan salah satu gejala yang tidak kurang penting di dalam semiotika.
Padahal, berbagai tanda ikonis berserakan di sekitar kita dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya: gambar wajah Dian Sastro tersenyum manja dengan bibir
merah basah merekah sedikit terbuka dalam bungkus sabun, wajah Hitler pada kaos
kita, atau gambar group band Peterpan dalam poster (ketiganya adalah ikon
Images). Betapa terpolusinya kehidupan kita dengan tanda ikonis, tetapi kadang
tidak terpikirkan.
Di dalam
bahasa, kita menemukan kata onomatope sebagai tanda ikonis, misalnya
kata ku ku ru yuk yang mengacu pada objek suara yang diacunya, yaitu
Ayam Jago. Selain itu, kata dangdut yang juga mengacu pada objek
suara yang diacunya.
Suatu
tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu
bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang,
artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau
mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut
sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Tanda yang menggantikan
sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam segala hal, melainkan dalam
rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai latar dari
representamen (Budiman, 2011: 73).
Pierce,
menyusun tipe ikon secara triparit. Yang mana karakteritik arbitrer dan
konvesional itu hanya terdapat pada salah satu sub-tipe tanda yang dinamakannya
sebagai simbol (Budiman, 2011: 69). Tipe-tipe
ikon itu misalnya, ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis. Ikon metafora
(metaphor) merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang
ikonisitasnya berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek
dari dua tanda simbolis. Biasanya berupa hubungan similaritas relasi abstrak
seperti kemiripan sifat.
Contoh
ikon metafora : Metafora “Kaki Gunung” dapat dihasilkan dengan mempersamakan
objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia (atau
hewan) yang memilih kaki. Kemiripannya, sama-sama berada di bawah dan berfungsi
untuk menopang tubuh atau gunung.
E.
Pendekatan Parafratis, Emotif, dan Analitik
1.
Pendekatan Parafratis
Pendekatan parafratis adalah strategi
pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan
kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun
kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya.
Tujuan akhir pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata dan
kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna
yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Seperti telah diketahui, kata-kata
dalam cipta satsra umumnya padat dan suplimatif. Misalnya, seorang penyair yang
ingin menyampaikan gagasan tentang betapa cepatnya perjalanan kehidupan serta
betapa singkat kehidupan manusia itu sendiri yang sisi lain juga akan segera
membahas manusia dari libatan keduniawian ini, dirinya cukup mengungkapkannya
dengan jam mengerdip, tak terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan
dunia. Dari contoh itu dapat diketahui bahwa kalimat atau baris dalam puisi
sering mengalami elipsis atau penghilangan suatu unsur, baik berupa kata maupun
berupa kelompok kata. Begitu juga1 cara penulisannya umumnya tidak sma dengan
aturan atau sistem pada umumnya. Misalnya jika seorang kalimat itu seseorang
harus mengawalinya dengan huruf besar dan menghakhiri dengan titik, maka dalam
baris-baris puisi dalam aturan itu tidak selamnya dilaksanakan.
Prinsip dasar dari penerapan pendekatan parafratis adalah
sebagai berikut:
1) Gagasan yang
sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda.
2) Simbol-simbol
yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan
lambing atau bentuk lain yang tidak mengandung ketaksaan makna.
3) Kalimat-kalimat
atau baris dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelesapan dapat dikembalikan
lagi kepada bentuk dasarnya.
4) Pengubahan
suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolis dan
elipsis menjadi suatu bentuk kebahasaan yang tidak lagi konotatif akan
mempermudah upaya seseorang untuk memahami kandungan makna dalam suatu bacaan.
5) Pengungkapan
kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak
sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh
pembaca itu sendiri.
Dari prinsip pada butir 5 itu dapat
disimpulkan juga bahwa penerapan pendekatan parafrastis untuk mempermudah upaya
pemahaman makna suatu bacaan, juga digunakan untuk mempertajam, memperluas dan
memperlengkapi pemahaman makna yang diperoleh oleh pembaca itu sendiri. Sebab
itu, dalam pelaksanaannya nanti, pendekatan parafrastis ini selain dapat
dilaksanakan pada awal dilaksanakan kegiatan merapresiasi sastra, juga dapat
dilaksanakan setelah kegiatan apresiasi berlangsung.
2.
Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif dalam mengapresiasi
sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang
mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan
keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau
gagasan yang lucu dan menarik.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi
adanya pendekatan emotif adalah bahwa rutinitas masyarakat yang padat
mengakibatkan kejenuhan sehingga memerlukan media untuk menghibur dirinya, di
antaranya menikmati cipta sastra itu sendiri. Oleh karena itu, diharapkan
pembaca dapat menemukan unsur-unsur keindahan maaupun kelucuan yang terdapat
dalam suatu karya sastra.
Selain berhubungan dengan masalah
keindahan, juga unsur gaya bahasa dan pola persajakan juga mempengaruhi suasana
hati pembaca. Unsur gaya bahasa seperti metafora, simile maupun penataanse
tting mampu menghasilkan panorama yang menarik. Masalah pola persajakan juga
dapat menghasilkan penikmatan keindahan terhadap karya sastra karena dapat
menghadirkan unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Penyajian keindahan
dalam puisi, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang
auditif, dapat juga disajikan secara visual, misalnya dengan membuat panorama
yang menarik dan indah sehingga juga dikenal adanya penyair yang visual.
Penikmatan itu lebih ;lanjut juga
dengan berhubungan masalah pola persajakan dan paduan bunyi yang lebih lanjut
dan dapat mengahadiri unsur-unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Hal yang
demikian dijumpai terutama pada karya-karya puisi karena pada abad ke-18 sampai
ke-19 ada kecenderungan untuk menciptakan syair atau karya fiksi seperti halnya alunan musik,
misalnya sebuah puisi berbahasa Jerman dari penyair Tieck berbunyi: liebe denk
in suzen Tonen atau Dennn gedanken steh’n zu fern. Penyajian keindahan dalam
puisi dalam keindahan, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya
penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara visual. Salah satu bait
puisi Roestam
Effendi dalam percikan perenungan, misalnya, berbunyi:
Ditengah sunyi menderu rinduku
Seperti topan. Merengggutkan dahan
Mencabutkan akar,
Meranggutkan kembang kalbuku
Untuk menemukan dan menikmati cipta
satra yang mengandung kelucuan, anda tentunya juga harus memilih cipta satra
yang termasuk dalam ragam-ragam tertentu. Ragam itu misalnya ragam humor,
satirik, sarkasme, maupun ragam komedi.
3.
Pendekatan Analitik
Sewaktu berhadapan dengan sebuah cipta
sastra, pembaca dapat menampilkan pertanyaan: unsur-unsur apakah yang membangun
cipta sastra yang saya baca ini? Bagaimana peranan setiap unsur itu dan
bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainya? Dan bagaimakah
cara memahaminya? Jika pembaca berusaha mencari jawaban dari keseluruhan
pertanyaan itu, pada dasarnya pembaca telah melaksanakan atau menerapkan
pendekatan analitis.
Pendekatan analitis merupakan suatu
pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan
atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan
gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen
intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam
rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi
munculnya pendekatan analitis adalah sebagai berikut.
1) Cipta sastra
itu dibentuk oleh elemen-elemen tertentu.
2) Setiap elemen
dalam cipta sastra memiliki fungsi tertentu dan senantiasa memiliki hubungan
antara yang satu dengan yang lainnya meskipun karakteristik berbeda.
3) Dari adanya
karakteristik setiap elemen itu, maka antara elemen yang satu
dengan elemen yang lain, pada awalnya dapat dibahasa secara terpisah meskipun
pada akhirnya setiap elemen itu harus disikapi sebagai suatu kesatuan.
Kegiatan mengapresiasi sastra dengan
menerapkan pendekatan analitis dianggap sebagai suatu kerja yang bersifat
saintifik karena dalam menerapkan pendekatan ini, pembaca harus memahami
terlebih dahulu landasan teori tertentu, bersikap objektif dan menunjukkan
hasil analisis yang tepat, sistematis, dan diakui kebenarannya oleh umum.
Namun, kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang
terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini, pembaca dapat membatasi
diri pada analisis struktur, diksi atau gaya bahasa, atau mungkin analisis
kebahasaaan dalam linguistik.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Untuk memahami suatu karya sastra
sperti novel, cerpen, komik, dan kaya sastra lainnya, perlu dilakukan pemahaman
internal dari karya tersebut agar dalam membacanya imajinasi pembaca terikat
dengan apa yang dibacanya. Dengan memahami suatu karya sastra membaca akan terasa
lebih asik dan menyenangkan.
B.
Saran
Karya sastra memang menarik untuk dibaca tapi, jangan lupa
juga belajar mengenai mata pelajaran yang lain.
Daftar Pustaka
http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/metodelogi-penelitian-komunikasi-analisis-isi-wacana-semiotika-framing-kebijakan-redaksional-dan-analisis-korelasional/ pada 13.42 WIB Minggu, 11 Maret 2012
http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/12/semiotika-ikon-dan-ikonisitas-pierce/ pada 13 Maret 2012 pukul 12.56 WIB, dalam
(Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas: Semiotika Sastra Dan Seni Visual.
Yogyakarta: Buku Baik)
Walker,
John A. Desain, Sejarah, Budaya; Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta
: Jalasutra cetakan I, Mei 2010) hal. Xxii
terima kasih gan,,,,,,,,,
BalasHapusatas postingnya,,,,,,,,,
kumbal yha,,,,
How to get to M lifeWay Casino, Resort & Spa by Bus
BalasHapusDirections to M 대전광역 출장마사지 lifeWay Casino, Resort & Spa (Mirage), 춘천 출장샵 United States. The following transit lines 군포 출장샵 have routes that pass 영주 출장안마 near M lifeWay Casino, Resort & 논산 출장안마 Spa.