Kamis, 25 Juli 2013

Makalah Apresiasi Prosa Fiksi (Cerpen)



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
             Karya sastra dikelompokkan menjadi 3 jenis, prosa, puisi, dan drama. Untuk dapat memahami sebuah karya sastra dengan baik, pembaca harus memiliki pengetahuan tentang fungsi dan unsur-unsur karya sastra yang dibacanya.
            Prosa fiksi sebagai sebuah cerita rekaan yang biasa juga disebut sebagai cerita rekaan memiliki fungsi untuk memberitahukan kepada pembaca tentang suatu kejadian atau peristiwa yang mungkin ada dalam kehidupan nyata. Unsur-unsur prosa fiksi seperti yang sudah Anda pelajari dalam mata kuliah sastra mencakup tema, tokoh, alur, seting atau latar, gaya, dan sudut pandang.
             Dalam karya prosa fiksi terkandung sebuah amanat yang dibungkus oleh unsur-unsur cerita tersebut. Kejadian-kejadian dan amanat inilah yang akan Anda peroleh dari cerita yang Anda baca sebagai suatu pengalaman
             Karya sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna (Nurgiyantoro, 2002: 39).
             Bahasa tak lain adalah media dalam karya sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan yang bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra yang berbentuk prosa, maka untuk pemahaman makna pada prosa bisa menggunakan kajian sintaksis.  Oleh karna itu, penulis ingin mengkaji novel karya dari sudut pandang Sintaksis.

B.     Rumusan masalah
1.      Kemukakan apa itu cerpen !
2.      Uraikan jenis-jenis cerpen !
3.      Uraikan apresiasi cerpen !
4.      Uraikan analisis semiotik !
5.      Apa yang di maksud pendekatan parafratis, emotif, dan analitis ?

c.     Tujuan Penulisan
1         .      Mampu memahami apa itu cerpen.
2         .      Mampu mengetahui jenis-jenis cerpen.
3         .      Mampu mengetahui apresiasi cerpen.
4         .      Mampu mengetahui analisis semiotik.
5         .      Mampu mengetahui pendekatan parafratis, emotif, dan analitis

                                                                          BAB II
PEMBAHASAN

       A.    Pengertian Cerpen
             Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dipisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan (Kosasih dkk, 2004:431). 

            Nugroho Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176) mengatakan bahwa cerpen adalah cerita yang panjangnya di sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Untuk menentukan panjang cerpen memang sulit untuk ukuran yang umum,  cerpen selesai dibaca dalam waktu 10 sampai 20 menit. Jika cerpennya lebih panjang mungkin sampai 1½ atau 2 jam. Yang jelas tidak ada cerpen yang panjang 100 halaman (Surana, 1987:58).Pengertian Cerpen

            Cerita pendek adalah karangan pendek yang berbentuk prosa.Dalam cerita pendek dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan dan mngandung kesan yang tidak mudah dilupakan.

      B.     Jenis-jenis cerpen
            Kalau manusia ada yang namanya jenis kelamin untuk membedakan laki-laki dan perempuan , cerpen juga ada jenis-jenisnya tapi bukan jenis kelamin seperti manusia, ini dia jenis-jenis cerpen berdasarkan jumlah katanya :
1. Cerpen mini (flash), cerpen dengan jumlah kata antara 750-1.000 buah.
2. Cerpen yang ideal, cerpen dengan jumlah kata antara 3.000-4000 buah.
3. Cerpen panjang, cerpen yang jumlah katanya mencapai angka 10.000 buah.
Sekarang berdasarkan teknik mengarangnya, cerpen dibedakan menjadi
1. Cerpen sempurna (well made short-story), cerpen yang terfokus pada satu tema dengan plot yang sangat jelas, dan ending yang mudah dipahami. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat konvensional dan berdasar pada realitas (fakta). Cerpen jenis ini biasanya enak dibaca dan mudah dipahami isinya. Pembaca awam bisa membacanya dalam tempo kurang dari satu jam
2. Cerpen tak utuh (slice of life short-story), cerpen yang tidak terfokus pada satu tema (temanya terpencar-pencar), plot (alurnya) tidak terstruktur, dan kadang-kadang dibuat mengambang oleh cerpenisnya. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat kontemporer, dan ditulis berdasarkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang orisinal, sehingga lazim disebut sebagai cerpen ide (cerpen gagasan). Cerpen jenis ini sulit sekali dipahami oleh para pembaca awam sastra, harus dibaca berulang kali baru dapat dipahami sebagaimana mestinya. Para pembaca awam sastra menyebutnya cerpen kental atau cerpen berat.
       C.    APRESIASI CERPEN
            Pengertian apresiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penilaian baik; penghargaan; misalnya-terhadap karya-karya sastra ataupun karya seni.

            Apresiasi berasal dari bahasa Inggris, appreciation yang berarti penghargaan yang positif. Sedangkan pengertian apresiasi adalah kegiatan mengenali, menilai, dan menghargai bobot seni atau nilai seni. Biasanya apresiasi berupa hal yang positif tetapi juga bisa yang negatif. Sasaran utama dalam kegiatan apresiasi adalah nilai suatu karya seni. Secara umum kritik berarti mengamati, membandingkan, dan mempertimbangkan. Tetapi dalam memberikan apresiasi, tidak boleh mendasarkan pada suatu ikatan teman atau pemaksaan. Pemberian apresiasi harus dengan setulus hati dan menurut penilaian aspek umum.

       D.    Analisa Semiotik
            Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

            Seluruh aktifitas manusia dalam keseharian selalu diliputi berbagai kejadian-kejadian yang secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tak-sadar, memiliki potensi makna yang terkadang luas nilainya jika dipandang dari sudut-sudut yang dapat mengembangkan suatu objek pada kaitan-kaitan yang mengindikasikan suatu pesan atau tanda tertentu. Jika diartikan melalui suatu penjelasan maka akan dapat diterima oleh orang lain yang menyepakati.

            Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna ( Scholes, 1982: ix dalam Kris Budiman, 2011: 3)

            Lebih spesifik lagi jika sebuah studi atas kode-kode tertentu memiliki kaitan dengan kehidupan kita, bahkan sangat fundamental jika ada kesalahan artikulasi atas kode-kode tersebut. Pemicu awal terciptanya suatu hukum bisa berawal dari kode-kode sebuah tanda yang telah disepakati dan menjadi kebudayaan menyeluruh. Kita dapat melihat tentang bagaimana tanda-tanda tertentu berbeda makna dari orang-orang yang terbagi dalam berbagai aspek seperti, geografis, demografis, suku dan budaya. Sehingga bagi Ferdinand de Saussure (Kris Budiman, 2011: 3) menuturkan bahwa semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat”. Tanda-tanda dalam masyarakat yang telah disepakati sebenarnya hasil dari pemikiran Logika seperti yang di ungkapkan oleh Charles S. Pierce (Kris Budiman 2011: 3) bahwa semiotika tidak lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda”.

            Penggunaan kata doktrin disini adalah wujud dari kesepakatan generasi ke generasi contohnya tentang tanda alam, “jika mendung maka itu tanda akan segera turun hujan”. Walaupun terkadang hujan tanpa mendung-pun sering terjadi, dan mendung tanpa hujan pun ada. Namun, ada makna yang terkandung di dalam tentang artikulasi bagi sebagian orang atau kelompok tentang tanda “mendung”. Dalam ilmu fisika kita mengetahui sebab apa sehingga turun hujan akan mengartikan sebagai proses menguapnya kandungan air yang ditampung sehingga langit mendung dan menurunkan hujan. Akan tetapi, bagi kelompok lain tanpa melakukan sebuah analisis akademis seperti itu pun mengisyaratkan bahwa langit mendung pertanda akan turun hujan. Tanda langit mendung menjadi acuan yang disepakati baik secara doktrinisasi ataupun secara historis masyarakat yang mengalami itu berkali-kali dan dapat mengartikan “hujan akan segera turun”. (bahasa alam)

            Sedangkan menurut John A. Walker semiotika adalah “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Definisi tersebut menjelaskan relasi yang tidak dapat dipisahkan antara sistem tanda dan penerapannya di dalam masyarakat. Oleh karena tanda itu selalu ditempa di dalam kehidupan sosial dan budaya, maka jelas keberadaan semiotika sangat sentral di dalam cultural studies. Tanda tidak berada di ruang kosong, tetapi hanya bisa eksis bila ada komunitas bahasa yang menggunakannya. Budaya, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai bangunan yang dibangun oleh kombinasi tanda-tanda, berdasarkan aturan tertentu (code), untuk menghasilkan makna.

            Tanda di dalam fenomena kebudayaan mempunyai cakupan yang sangat luas, di mana selama unsur-unsur kebudayaan mengandung di dalam dirinya makna tertentu, maka ia adalah sebuah tanda, dan dapat menjadi objek kajian semiotik. Apakah itu pola tingkah laku seseorang, pola pergaulan, penggunaan tubuh, pengorganisasian ruang, pengaturan makanan, cara berpakaian, pola berbelanja, hasil ekspresi seni, cara berkendaraan, bentuk permainan dan objek-objek produksi, semuanya dianggap sebagai tanda dan produk bahasa ( John A. Walker 2010: xxii ).

            Menurut saya, lebih plural tentang arti tanda dari John A. Walker, karena mengisyaratkan tentang respon dari indra seseorang yang ditimpa stimulus apapun bisa berarti sebuah tanda. Bahkan hal terkecilpun memiliki potensi besar berupa makna. Namun, keragaman makna di sini berlaku ketika adanya sebuah komunitas bahasa yang menyetujui tentang berbagai tanda yang disepakati dan mempunyai legitimasi aturan-aturan tentang pemaknaan tersebut. Begitu juga sebaliknya ada kekuatan personal orang yang mampu memaknai berbagai tanda, akan tetapi orang lain tidak mampu bahkan tidak menyetujui akan makna dari perseorangan tersebut, itu tidak berlaku dalam sebuah analisa dan tidak bisa diwujudkan dalam kehidupan luas.

            Maka dari itu sebuah tanda tertentu yang dapat memberikan makna harus diteliti dan dibuktikan dalam sebuah praktek meskipun artikulasi itu tidak nampak atau tidak riil wujudnya. Dari interpreter ke interpreter selanjutnya harus jelas dalam memaknai, sehingga dengan sendirinya makna-makna yang akan membudaya secara automatic menyatu dalam sebuah wadah budaya dan disepakati. Contohnya adalah kultur barat yang dahulu merayap menggunduli budaya luhur dan saat ini menggunduli dirinya sendiri dan idealisme budaya Indonesia digantikan dengan budaya Kapitalisme. Tanpa terasa luka itu bertambah parah menggerogoti kesejahteraan rakyat hidup dengan layak. Ini semua berawal dari tanda yang dimaknai dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya menjadi budaya baru yang memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang disebut modern. Cara-cara berpakaian, konsumerisme, cara berpikir liberal tak bermoral, dan lain sebagainya bisa dinamakan tanda-tanda budaya barat yang dimaknai modern oleh masyarakat Indonesia.

Karena pengertian semiotika adalah sistem tanda yang berelasi dalam  pemaknaan, maka yang pertama akan kami bahas adalah karakteristik tanda ( Arbitrer ).

1.       Karakteristik Tanda ( Arbitrer )
      Bahasa, dalam perspektif semiotika ( 2011: 66 ), hanyalah salah satu sistem tanda-tanda (system of signs). Dalam wujudnya sebagai suatu sistem, pertama-tama, bahasa adalah sebuah institusi sosial otonom, yang keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya. Bahasa merupakan seperangkat konvensi sistematis, produk dari kontrak kolektif, yang bersifat memaksa. Saussere ( dalam Kris Budiman 2011: 66 ) menyebutnya sebagai lengue. Kedua, bahasa tersusun dari tanda-tanda, yakni entitas fisik, yang di dalam bahasa lisan berupa citra-bunyi (sound image), yang berelasi dengan konsep tertentu. Selanjutnya, Saussere menamakan entitas material-sensoris ini sebagai penanda (signifier atau signifiant) dan konsep yang berkait dengannya sebagai petanda (signified atau signifie). Masih menurut Saussure, tanda-tanda, khususnya tanda-tanda kebahasaan, setidak-tidaknya memiliki dua buah karakteristik primordial, yakni bersifat linear dan arbitrer.

      Karakteristik pertama, linearitas penanda (linear nature of the signifier ), berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak mungkin secara sekaligus atau simultan. Artinya, penanda tersebut bersifat linier karena “pendengaran penanda memiliki perintah mereka hanya dimensi waktu.” Ini “merupakan sejengkal, dan rentang yang dapat diukur dalam dimensi tunggal” - yaitu waktu. Saussure says that linguistic signs are by nature linear, because they represent a span in a single dimension. Auditory signifiers are linear, because they succeed each other or form a chain. Visual signifiers, in contrast, may be grouped simultaneously in several dimensions (tanda-tanda linguistik secara alami linear, karena mereka mewakili rentang dalam dimensi tunggal. Penanda pendengaran adalah linear, karena mereka berhasil satu sama lain atau membentuk rantai. Penanda visual, sebaliknya, dapat dikelompokkan secara bersamaan dalam beberapa dimensi).

      Karakteristik kedua, kearbitreran tanda (the arbitrary nature of the signs), bersangkutan dengan relasi di antara penanda dan petanda yang “semena-mena” atau “tanpa alasan”—tak bermotivasi (unmotivated). Relasi di antara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan konvensi (Kris Budiman 2011, 66). Selanjutnya Seassure di kesempatan yang lain mengatakan bahwa bahasa lisan mencakup komunikasi konsep melalui suara-gambar dari pembicara ke pendengar. Bahasa adalah produk komunikasi pembicara dari tanda-tanda untuk pendengar. Tanda linguistik adalah kombinasi dari konsep dan suara-gambar. Konsepnya adalah apa yang ditandakan, dan suara-gambar penanda. Kombinasi signifier dan signified adalah sewenang-wenang, yaitu, suara apapun citra dibayangkan dapat digunakan untuk menandakan sebuah konsep tertentu. Namun, terkadang ada perubahan-perubahan dalam hubungan signifier dan signified dan perubahan tanda-tanda linguistik berasal dari perubahan kegiatan sosial.

      Tanda-tanda arbitrer disebut secara khusus oleh Pierce, sebagai simbol (symbol) (Kris Budiman 2011: 66). Oleh karena itu, dalam terminologi Pierce, bahasa dapat dikatakan juga sebagai sistem simbol lantaran tanda-tanda yang membentuknya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya, Hewan yang menggonggong dikatakan anjing oleh orang Indonesia dan dog oleh Inggris. Masing-masing bangsa itu sungguh “semena-mena” dalam menamakan hewan yang menggonggong tadi.

      Di dalam tatanan budaya itu ‘bermacam area kehidupan sosial terlihat dipetakan ke dalam wilayah diskursif, wilayah itu secara hierarkis terorganisasi menjadi pemaknaan-pemaknaan yang dominan atau yang disukai’. Karena tatanan budaya itu tidak tunggal dan bukannya tidak dipersoalkan, maka pemaknaan yang disukai menjadi bisa dijamin. Tapi karena tatanan itu dominan, maka tatanan itu pastilah mendukung suatu keseimbangan probabilitas, sebab tatanan itu menguntungkan bagi beberapa pembacaan-pembacaan yang bersifat pribadi varian.
     
       Seperti contoh di atas jika kata anjing disepakati oleh masyarakat internasional untuk menamakan hewan menggonggong, maka akan kesulitan bagi mereka yang sulit mengucapkan kata anjing. Jadi ada kesewenang-wenangan dalam memaknai dan menamai tanda gonggong itu dimiliki oleh anjing bagi orang Indonesia, begitu juga di seluruh dunia yang tidak sama menamai hewan menggonggong. Tetapi “perspektif selektif” hampir tidak pernah secara seselektif, seacak, dan sepribadi apa yang dikatakan oleh konsepnya.

      Namun, dalam masalah peristilahan ini pula kemudian timbul kesengkarutan karena Saussure dan Pierce ternyata menggunakan satu istilah yang sama untuk menunjuk kepada konsep yang sama sekali bertolak-belakang. Menurut terminologi Pierce, simbol adalah tanda arbitrer, sementara Saussure sebaliknya, dan mengatakan bahwa simbol adalah tanda-tanda yang tidak sepenuhnya arbitrer. Kerancuan ini dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang belajar semiotika agar senantiasa waspada dan tidak sembrono dengan terminologi dan konsep-konsep karena nyaris setiap pemikir dan “selebriti” semiotika menggunakan istilah yang sama atau hampir sama, namun pengertiannya bisa berbeda sama sekali. Akan tetapi terlepas dari kerancuan konseptual tersebut, boleh dikatakan bahwa hampir sepanjang riwayatnya linguistik dan semiotika terlampau menekankan pada konvensionalitas atau kearbitreran tanda sehingga kerap mengabaikan karakteristik tanda yang sebaliknya—seolah-olah bahasa tidak mungkin berkarakteristik ikonitas menurut Saussure yang menurut Pierce menaruh perhatiannya terhadap masalah ikonitas.

      Begitu peliknya masalah yang dihadapi dalam artikulasi serat memaknai tanda-tanda menurut Saussure dan Pierce. Meskipun keduanya hidup bersamaan di zamannya, namun mereka tidak pernah saling kenal dan bertemu. Akan tetapi para murid-muridnya mencoba merangkum apa yang dimaksudkan oleh Saussure dengan linguistik dan Pierce mengatakan dengan nama lain dari semiotika adalah Logika atau permainan logika. Perkembangan yang semakin menunjukkan eksitensi tentang semiotika berkaitan dengan pemaknaan tanda. Kami akan mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan ikon dan ikonitas yang merupakan tanda-tanda non-atbitrer menurut Pierce.

2.       Ikon dan Ikonisitas
      Bagi Pierce, ikon termasuk dalam tipologi tanda pada trikotomi kedua. Ikon merupakan sebutan bagi tanda yang non-arbitrer (bermotivasi). Menurut Pierce, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41). Dia menyatakan bahwa ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan/similaritas dengan objeknya (Budiman, 2005:45). Ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan (Nurgiyantoro, 1995:45).

      Ikon merupakan tanda yang didasarkan oleh adanya similaritas (similarity) atau “keserupaan” (resemblance) di antara kedua kolerat tersebut (Budiman 2011: 69). Jenis tanda yang didasari resemblance itu adalah tanda ikonis dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas.

      Ikonisitas merupakan salah satu gejala yang tidak kurang penting di dalam semiotika. Padahal, berbagai tanda ikonis berserakan di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: gambar wajah Dian Sastro tersenyum manja dengan bibir merah basah merekah sedikit terbuka dalam bungkus sabun, wajah Hitler pada kaos kita, atau gambar group band Peterpan dalam poster (ketiganya adalah ikon Images). Betapa terpolusinya kehidupan kita dengan tanda ikonis, tetapi kadang tidak terpikirkan.
      Di dalam bahasa, kita menemukan kata onomatope sebagai tanda ikonis, misalnya kata ku ku ru yuk yang mengacu pada objek suara yang diacunya, yaitu Ayam Jago. Selain itu, kata dangdut yang juga mengacu pada objek suara yang diacunya.
      Suatu tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Tanda yang menggantikan sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam segala hal, melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai latar dari representamen (Budiman, 2011: 73).

      Pierce, menyusun tipe ikon secara triparit. Yang mana karakteritik arbitrer dan konvesional itu hanya terdapat pada salah satu sub-tipe tanda yang dinamakannya sebagai simbol  (Budiman, 2011: 69). Tipe-tipe ikon itu misalnya, ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis. Ikon metafora (metaphor) merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang ikonisitasnya berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis. Biasanya berupa hubungan similaritas relasi abstrak seperti kemiripan sifat.
      Contoh ikon metafora : Metafora “Kaki Gunung” dapat dihasilkan dengan mempersamakan objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia (atau hewan) yang memilih kaki. Kemiripannya, sama-sama berada di bawah dan berfungsi untuk menopang tubuh atau gunung.


           E.     Pendekatan Parafratis, Emotif, dan Analitik
1.      Pendekatan Parafratis
      Pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata dan kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.

      Seperti telah diketahui, kata-kata dalam cipta satsra umumnya padat dan suplimatif. Misalnya, seorang penyair yang ingin menyampaikan gagasan tentang betapa cepatnya perjalanan kehidupan serta betapa singkat kehidupan manusia itu sendiri yang sisi lain juga akan segera membahas manusia dari libatan keduniawian ini, dirinya cukup mengungkapkannya dengan jam mengerdip, tak terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia. Dari contoh itu dapat diketahui bahwa kalimat atau baris dalam puisi sering mengalami elipsis atau penghilangan suatu unsur, baik berupa kata maupun berupa kelompok kata. Begitu juga1 cara penulisannya umumnya tidak sma dengan aturan atau sistem pada umumnya. Misalnya jika seorang kalimat itu seseorang harus mengawalinya dengan huruf besar dan menghakhiri dengan titik, maka dalam baris-baris puisi dalam aturan itu tidak selamnya dilaksanakan.

Prinsip dasar dari penerapan pendekatan parafratis adalah sebagai berikut:
1)      Gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda.
2)      Simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambing atau bentuk lain yang tidak mengandung ketaksaan makna.
3)      Kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelesapan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya.
4)      Pengubahan suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolis dan elipsis menjadi suatu bentuk kebahasaan yang tidak lagi konotatif akan mempermudah upaya seseorang untuk memahami kandungan makna dalam suatu bacaan.
5)      Pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.

     Dari prinsip pada butir 5 itu dapat disimpulkan juga bahwa penerapan pendekatan parafrastis untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu bacaan, juga digunakan untuk mempertajam, memperluas dan memperlengkapi pemahaman makna yang diperoleh oleh pembaca itu sendiri. Sebab itu, dalam pelaksanaannya nanti, pendekatan parafrastis ini selain dapat dilaksanakan pada awal dilaksanakan kegiatan merapresiasi sastra, juga dapat dilaksanakan setelah kegiatan apresiasi berlangsung.

2.      Pendekatan Emotif
      Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik.

      Prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif adalah bahwa rutinitas masyarakat yang padat mengakibatkan kejenuhan sehingga memerlukan media untuk menghibur dirinya, di antaranya menikmati cipta sastra itu sendiri. Oleh karena itu, diharapkan pembaca dapat menemukan unsur-unsur keindahan maaupun kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra.

      Selain berhubungan dengan masalah keindahan, juga unsur gaya bahasa dan pola persajakan juga mempengaruhi suasana hati pembaca. Unsur gaya bahasa seperti metafora, simile maupun penataanse tting mampu menghasilkan panorama yang menarik. Masalah pola persajakan juga dapat menghasilkan penikmatan keindahan terhadap karya sastra karena dapat menghadirkan unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Penyajian keindahan dalam puisi, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara visual, misalnya dengan membuat panorama yang menarik dan indah sehingga juga dikenal adanya penyair yang visual.

      Penikmatan itu lebih ;lanjut juga dengan berhubungan masalah pola persajakan dan paduan bunyi yang lebih lanjut dan dapat mengahadiri unsur-unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Hal yang demikian dijumpai terutama pada karya-karya puisi karena pada abad ke-18 sampai ke-19 ada kecenderungan untuk menciptakan syair atau karya fiksi seperti halnya alunan musik, misalnya sebuah puisi berbahasa Jerman dari penyair Tieck berbunyi: liebe denk in suzen Tonen atau Dennn gedanken steh’n zu fern. Penyajian keindahan dalam puisi dalam keindahan, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara visual. Salah satu bait puisi  Roestam
Effendi dalam percikan perenungan, misalnya, berbunyi:
Ditengah sunyi menderu rinduku
Seperti topan. Merengggutkan dahan
Mencabutkan akar,
Meranggutkan kembang kalbuku

      Untuk menemukan dan menikmati cipta satra yang mengandung kelucuan, anda tentunya juga harus memilih cipta satra yang termasuk dalam ragam-ragam tertentu. Ragam itu misalnya ragam humor, satirik, sarkasme, maupun ragam komedi.

3.      Pendekatan Analitik
      Sewaktu berhadapan dengan sebuah cipta sastra, pembaca dapat menampilkan pertanyaan: unsur-unsur apakah yang membangun cipta sastra yang saya baca ini? Bagaimana peranan setiap unsur itu dan bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainya? Dan bagaimakah cara memahaminya? Jika pembaca berusaha mencari jawaban dari keseluruhan pertanyaan itu, pada dasarnya pembaca telah melaksanakan atau menerapkan pendekatan analitis.

      Pendekatan analitis merupakan suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

      Prinsip dasar yang melatarbelakangi munculnya pendekatan analitis adalah sebagai berikut.
1)      Cipta sastra itu dibentuk oleh elemen-elemen tertentu.
2)      Setiap elemen dalam cipta sastra memiliki fungsi tertentu dan senantiasa memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya meskipun karakteristik berbeda.
3)      Dari adanya karakteristik setiap elemen itu, maka antara elemen yang satu dengan elemen yang lain, pada awalnya dapat dibahasa secara terpisah meskipun pada akhirnya setiap elemen itu harus disikapi sebagai suatu kesatuan.

     Kegiatan mengapresiasi sastra dengan menerapkan pendekatan analitis dianggap sebagai suatu kerja yang bersifat saintifik karena dalam menerapkan pendekatan ini, pembaca harus memahami terlebih dahulu landasan teori tertentu, bersikap objektif dan menunjukkan hasil analisis yang tepat, sistematis, dan diakui kebenarannya oleh umum. Namun, kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini, pembaca dapat membatasi diri pada analisis struktur, diksi atau gaya bahasa, atau mungkin analisis kebahasaaan dalam linguistik.


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
           Untuk memahami suatu karya sastra sperti novel, cerpen, komik, dan kaya sastra lainnya, perlu dilakukan pemahaman internal dari karya tersebut agar dalam membacanya imajinasi pembaca terikat dengan apa yang dibacanya. Dengan memahami suatu karya sastra membaca akan terasa lebih asik dan menyenangkan.
B.     Saran
            Karya sastra memang menarik untuk dibaca tapi, jangan lupa juga belajar mengenai mata pelajaran yang lain.



Daftar Pustaka

Budiman, Kris Semiotika Visual, Yogyakarta: Jalasutra Cetakan I, September 2011 (hal. 3)




http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/12/semiotika-ikon-dan-ikonisitas-pierce/ pada 13 Maret 2012 pukul 12.56 WIB, dalam (Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas: Semiotika Sastra Dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik)

Walker, John A. Desain, Sejarah, Budaya; Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta : Jalasutra cetakan I, Mei 2010) hal.  Xxii
















2 komentar:

  1. terima kasih gan,,,,,,,,,
    atas postingnya,,,,,,,,,

    kumbal yha,,,,

    BalasHapus
  2. How to get to M lifeWay Casino, Resort & Spa by Bus
    Directions to M 대전광역 출장마사지 lifeWay Casino, Resort & Spa (Mirage), 춘천 출장샵 United States. The following transit lines 군포 출장샵 have routes that pass 영주 출장안마 near M lifeWay Casino, Resort & 논산 출장안마 Spa.

    BalasHapus